KEUTAMAAN dan ADAB-ADAB DZIKRULLAH

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),“Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah Allah dengan dzikir yang banyak.” (QS. Al-Ahzaab: 41).
Ibnu Katsir rahimahullaah berkata, “Dari Ibnu ‘Abbas beliau berkata, “Sesungguhnya Allah tidaklah memerintahkan sebuah kewajiban atas hamba-Nya, melainkan menyebutkan batas-batas kewajiban tersebut dan memberikan ‘udzur bagi orang-orang yang tidak mampu melakukannya, kecuali dzikir. Allah tidak membatasi kewajiban berdzikir dengan batasan tertentu dan tidak pula memberi ‘udzur bagi orang yang meninggalkannya, kecuali orang yang tidak  sengaja meninggalkannya.
Allah berfirman (yang artinya),“Maka ingatlah Allah di waktu berdiri, duduk dan berbaring.” (QS. An-Nisaa’: 103). Pada waktu malam dan siang, di daratan dan di lautan, ketika sedang menetap maupun dalam perjalanan, di waktu kaya maupun miskin, sedang sehat ataupun sedang sakit, dalam keramaian maupun dalam kesendirian, dan dalam segala hal.” (Tafsir Ibnu Katsir).

Membangun masyarakat yang gemar berdzikir

Banyak problematika dalam kehidupan bermasyarakat, jika diusut dan dicari benang merahnya maka akan kita dapatkan bahwa faktor utama penyebabnya adalah jauhnya
kita dari dzikrullah. Di sini penulis menghimbau semua pihak agar proses menuju masyarakat yang gemar berdzikir dimulai dari membiasakan diri pribadi untuk memperbanyak dzikir. Jadikan semboyan dalam hidup ini: “Tiada hari tanpa berdzikir.”
Agar kita semangat untuk berdzikir, sangat dianjurkan untuk mengetahui dan menyadari tentang keutamaan dzikir dan orang-orang yang banyak berdzikir. Di antara keutamaannya:

[1] Dzikir merupakan salah satu tujuan disyari’atkannya ibadah
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka beribadahlah kepada-Ku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (QS. Thaaha: 14).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya disyari’atkannya thawaf, sa’i antara Shafa dan Marwah, dan melempar jamrah adalah dalam rangka untuk menegakkan dzikrullah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan yang lainnya. At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”).

[2] Dzikir merupakan senjata utama melawan dan mengusir syaithan
Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan. Sesungguhnya syaithan akan lari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al-Baqarah.” (HR. Muslim).
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Syaithan itu berdiam di dalam hati anak Adam. Apabila seseorang itu lalai, lengah, dan lupa mengingat Allah, maka syaithan pun menggodanya. Sedangkan jika ia berdzikir mengingat Allah, maka syaithan pun lari bersembunyi” (Mushannaf Ibn Abi Syaibah, 7/135).

[3] Hidup menjadi lapang dengan berdzikir
Allah berfirman (yang artinya), “Dan barangsiapa berpaling dari mengingat-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaaha: 124).

[4] Dzikir sebagai pembeda antara mu’min dan munafik
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka .Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ di hadapan manusia.Dan tidaklah mereka mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisaa’: 142).
Hendaknya kita tidak merasa aman dari bahaya kemunafikan. Barangkali kita bukan termasuk orang yang suka berdusta, tidak pernah ingkar janji, selalu menjaga amanah, dan lain sebagainya. Akan tetapi, apakah kita termasuk orang-orang yang banyak berdzikir?

[5] Dzikir menyejukkan hati
Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28).
Menjadi insan yang banyak berdzikir
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “…laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzaab: 35).
Kapan seorang muslim atau muslimah dikatakan sebagai orang-orang yang banyak berdzikir?
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata ketika menafsirkan laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir, “Maksudnya adalah yang berdzikir setelah selesai shalat, berdzikir pagi dan petang, berdzikir sebelum tidur dan sesudah bangun dari tidur, berdzikir setiap keluar masuk rumah”
Mujaahid rahimahullaah berkata, “Seseorang tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang banyak berdzikir sampai ia berdzikir dalam semua keadaannya baik ketika sedang berdiri, duduk, atau berbaring” (Tafsir Al-Wasiith, Al-Waahidiy Asy-Syaafi’iy, 3/471)

Adab-adab Berdzikir
Setelah mengetahui keutamaan berdzikir, hendaknya seorang muslim menghiasi hari-harinya dengan dzikrullah. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Hendaknya engkau senantiasa membasahi lidahmu dengan dzikrullah.” (HR. Ahmad).
Di dalam berdzikir, seorang muslim dianjurkan untuk melakukannya dengan adab-adab sebagai berikut:

1. Berdzikir dengan suara yang lemah lembut dan penuh kekhusyu’an.
Allah berfirman (yang artinya),“Dan berdzikirlah mengingat Tuhanmu dalam dirimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raaf: 205).

2. Tidak berteriak dan mengeraskan suaranya.
Dari Abu Musa Al-Asy’ary radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Tatkala orang-orang meninggikan suara mereka dalam berdo’a di sebuah perjalanan, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menegur mereka dengan bersabda: “Wahai manusia, sayangilah diri-diri kalian! Sesungguhnya kalian tidak sedang berdo’a kepada sesuatu yang bisu dan jauh. Akan tetapi Dia adalah Dzat yang Maha Mendengar lagi Dekat, bahkan lebih dekat dengan kalian daripada leher tunggangan kalian.”(HR. Al-Bukhari dan Muslim).

3. Jika berada dalam sebuah jama’ah (baik jama’ah shalat, jama’ah pengajian, maupun jama’ah dalam kendaraan), maka hendaknya masing-masing berdzikir dengan suaranya sendiri-sendiri, dan tidak dilakukan secara berjama’ah (satu suara/koor/dipimpin).
Dalilnya adalah dari Anas bin Maalik radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Kami berangkat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di waktu pagi hari itu (hari Arafah pada haji Wada’ -pen) dari Mina menuju Arafah. Di antara kami ada yang bertakbir, ada pula yang bertalbiyah. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkarinya.”(HR. Ibnu Maajah.Syaikh Al-Albaany berkata, “Shahih”).
Seandainya melakukan dzikir dengan cara berjama’ah disyari’atkan, tentunya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling tepat mencontohkan hal itu kepada umatnya dan seharusnya melarang para sahabat pada waktu itu karena ketidakkompakan mereka dalam berdzikir.

4. Jika dzikir yang dilakukan berupa membaca Al-Qur’an maka tidak dibolehkan membacanya dalam keadaan junub (hadats besar), baik membacanya dengan hafalan apalagi membacanya dengan membuka mushaf.
Dari ‘Ali bin Abi Thaalib radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi jamban untuk membuang hajatnya. Setelah keluar dari jamban, lalu beliau makan daging dan roti bersama kami, dan membaca Al-Qur’an. Tidaklah menghalangi beliau dari membaca Al-Qur’an kecuali ketika beliau dalam keadaan junub.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih).

5. Hendaknya berdzikir dengan penuh keikhlasan hanya mengharap pahala dan balasan dari Allah saja.
Allah berfirman, (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus…” (QS. Al-Bayyinah: 5).
Wallaahu a’lam. Wa shallallaahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad.
[Ustadz Abu Yazid Nurdin]

12 KEUTAMAAN PUASA

Bismillah. Kami memuji kepada Allah, satu-satunya Rabb yang berhak diibadahi. Shalawat dan Salam semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam beserta keluarga, para sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allah, Islam adalah satu-satunya agama yang paling benar dan sempurna semenjak diutusnya Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam sampai akhir zaman. Semua syariatnya bertujuan untuk mendatangkan kebaikan dunia dan akhirat. Di antaranya adalah adanya syariat puasa. Puasa merupakan salah satu ibadah yang agung karena Allah telah mensyariatkan puasa kepada umat Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam dan umat-umat sebelumnya sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepada kalian untuk berpuasa sebagaimana puasa juga telah diwajibkan kepada umat-umat sebelum kalian” (QS Al Baqarah : 183)
Kaum muslimin yang berbahagia, berikut ini beberapa keutamaan puasa yang diambil dari Al Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 [1] Puasa adalah salah satu sebab terwujudnya taqwa
Allah berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa” (QS Al Baqarah 183)
Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan, “yang dimaksud dengan “agar kalian bertakwa” adalah sesungguhnya puasa adalah sebab takwa yang paling besar. Hal ini karena di dalam puasa terdapat bentuk melaksanakan perintah Allah dan bentuk meninggalkan larangan Allah”[dikutip secara ringkas dari Taisir Al Kariim Ar-Rahman]

[2] Puasa adalah tameng dari gejolak syahwat dan neraka
Sebagaimana tameng melindungi penggunanya dari hujaman anak panah dan tusukan pedang dan tombak maka demikian juga puasa adalah tameng dari gejolak syahwat dan api neraka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Wahai sekalian para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mampu untuk menikah maka hendaknya ia menikah, karena menikah dapat lebih menundukkan pandangan, dan lebih menjaga kehormatan. Barangsiapa yang belum mampu menikah maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalah penjaga baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Puasa adalah tameng yang dapat melindungi seorang hamba dari api neraka.” (HR. Ahmad dan Baihaqi, dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohihul Jami’)

[3] Puasa adalah pemisah antara hamba dengan neraka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Tidaklah seorang hamba yang berpuasa di jalan Allah kecuali akan Allah jauhkan dia (karena puasanya) dari neraka sejauh tujuh puluh tahun perjalanan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda (yang artinya), “Barangsiapa berpuasa satu hari di jalan Allah maka Allah akan menjadikan di antara neraka dan dirinya parit yang jaraknya sejauh bumi dan langit.” (HR. Tirmidzi dan dinilai hasan shahih oleh Syaikh Al Albani)

[4] Puasa adalah salah satu sebab masuk surga
Seorang sahabat berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah tunjukkan kepadaku suatu amalan yang bisa memasukkanku ke dalam surga.” Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Hendaklah engkau melaksanakan puasa karena tidak ada yang semisal dengannya.” (HR. Nasaai, Ibnu Hibban dan Al Hakim)

[5] Pahala puasa tidak terbatas
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Allah Ta’ala berfirman, ‘Semua amalan manusia  adalah untuknya kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya’…” (HR Bukhari dan Muslim)
Setelah membawakan hadits di atas, Imam Al Qurtubi rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan, “Allah mengkhususkan balasan puasa (yaitu dengan tidak menyebutkan bentuk balasannya-pent) daripada ibadah yang lain karena dua hal yaitu pertama, puasa mencegah keinginan syahwat tidak sebagaimana ibadah yang lain. Kedua, karena puasa adalah amalan yang bersifat rahasia antara hamba dan Allah, maka peluang untuk berbuat riyanya sangat kecil. Berbeda dengan amalan yang nampak, maka peluang untuk berbuat riya lebih besar. (Al Jami’ Li Akamil Qur’an)

[6] Bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi daripada minyak misk
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “…dan demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau misk…” (HR. Bukhari dan Muslim)

[7] Bagi orang yang berpuasa ada 2 kebahagiaan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “…Orang yang berpuasa mempunyai dua kegembiraan, ia bergembira ketika berbuka, dan ia bergembira ketika bertemu dengan Rabbnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikh Abdul Muhsin hafidzahullah mengatakan, “yang dimaksud dengan “bergembira ketika buka” bukanlah bergembira karena makan, minum akan tetapi yang dimaksudkan adalah bergembira karena dapat menyempurnakan amalan shalih (yaitu puasa di hari itu)… yang dimaksud dengan “bergembira ketika bertemu dengan Rabbnya” adalah bergembira karena mendapatkan pahala dari Allah” (dikutip secara ringkas dari Syarah Sunan Abi Dawud)

[8] Puasa dan Al Qur’an akan menjadi syafa’at pada hari kiamat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Puasa dan Al-Qur’an akan memberikan syafaat pada hari kiamat. Puasa mengatakan, ‘Wahai Rabbku, aku menghalanginya dari makan dan syahwat pada siang hari maka berilah ia syafaat karenaku.’ Al-Qur’an pun berkata, ‘Aku menghalanginya dari tidur pada malam hari maka berilah ia syafaat karenanya.” Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Maka keduanya (puasa dan Al Qur’an) memberikan syafaat.” (HR. Ahmad dan Al Hakim)

[9] Puasa sebagai kafarah (penebus dosa)
Di antara keutamaan puasa yang tidak ada dalam amalan lain adalah Allah menjadikannya sebagai kafarah. Misalnya, puasa dapat berfungsi sebagai kafarah bagi orang yang membatalkan sumpah. Allah berfirman (yang artinya), “…Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian (memberi makan atau pakaian kepada 10 fakir miskin atau membebaskan budak), maka kafarat sumpahnya puasa selama tiga hari, yang demikian itu adalah kaffarat sumpahmu bila kamu bersumpah (kemudian kamu langgar), dan jagalah sumpahmu….” (QS. Al-Maa-idah: 89)
Demikian juga, puasa dan shadaqah bisa menghapuskan musibah seseorang dari harta, keluarga dan anaknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Fitnah (musibah) seorang pria dalam keluarga (istrinya), harta dan tetangganya dapat dihapuskan dengan shalat, puasa dan shadaqah.” (HR. Bukhari)

[10] Pintu Ar-Rayyan bagi orang yang berpuasa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya dalam surga ada satu pintu yang di sebut dengan Ar-Rayyan. Orang-orang yang berpuasa akan memasuki pintu tersebut pada hari kiamat, tidak ada selain mereka yang akan memasukinya. Jika orang terakhir yang berpuasa telah masuk ke dalam pintu tersebut maka pintu tersebut akan tertutup.” (HR. Bukhari dan Muslim).

[11] Doa orang berpuasa tidak tertolak
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Ada tiga doa yang tidak tertolak yaitu doa imam yang adil, doa orang yang berpuasa sampai ia berbuka, dan doa orang yang terdhalimi”  (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya terdapat doa yang dikabulkan ketika berbuka bagi orang yang berpuasa”  (HR Tirmidzi dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani di Shahih Jami’)

[12] Pahala besar bagi orang yang memberi makan sajian buka untuk orang yang berpuasa
Rasulullah bersabda (yang artinya), “Barangsiapa yang memberi sajian buka kepada orang yang berpuasa maka baginya pahala orang berpuasa tadi tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tadi sedikit pun” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani di Shahih Sunan Tirmidzi)
Semoga kita di mudahkan oleh Allah untuk senantiasa beribadah kepadanya dengan penuh keikhlasan. Hanya kepada Allah kita bertawa'kal dan hanya kepada Allah kita mohon pertolongan. Semoga tulisan yang singkat ini dapat memberikan manfaat bagi penulis, pembaca dan kaum muslimin semuanya.
Penyusun : Fitriyansah, Santri Mahad Ilmi Yogyakarta
Disarikan dari :
Kitab Shifatu Shaumin Nabiyyi shallallahu ‘alaihi wa sallam fii Ramadhan karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly & Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid dengan beberapa penambahan.
Kitab Fadhail Ash Shiyam wa Qiyami Shalatit Tarawih karya DR. Sa’d bin ‘Ali bin Wahf Al Qahtani dengan beberapa penambahan.

AMALAN DI BULAN SUCI RAMADHAN

Kehadiran bulan suci Ramadhan menjadi sebuah hadiah yang indah bagi kita, karena padanya kebaikan bernilai lebih serta berlipat ganda, dan terdapat padanya amalan-amalan yang tidak terdapat pada bulan lainnya.
Saudaraku, bulan Ramadhan yang hanya berlalu satu tahun sekali, merupakan jarak waktu yang membawa kita pada suatu keadaan, dimana kita terkadang agak terlupakan dengan amalan-amalan di tahun sebelumnya. Oleh karena itu, mari kita bersama-sama mengingatnya kembali.

1. Puasa
    Amalan yang pertama dan paling utama di bulan Ramadhan adalah melaksanakan puasa yang merupakan rukun Islam yang keempat. Semua kita mengetahui tentang hal itu, tapi yang perlu kita ingat bahwa puasa setiap orang dari kita berbeda nilai dan pahalanya di sisi Allah Ta’ala.     Oleh karena itu, mari kita berpuasa bukan sekedar untuk melepaskan kewajiban, tapi kita melaksanakannya dengan penuh keimanan dan mengharap balasan Allah. Kita merasa senang dengan puasa dan bukan merasa terbebani. Kita melaksanakan kewajiban dan sunnah-sunnahnya serta meninggalkan larangan dan hal-hal yang mengurangi nilainya, sehingga kita menjadi bagian dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amalan setiap anak Adam dilipat gandakan sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah berfirman : ‘Kecuali puasa, ia adalah untuk-Ku. Aku yang membalasnya (tanpa batasan tadi). Ia (orang yang berpuasa-red) meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku”. (HR. Muslim)

2. Shalat Malam (Tarawih)
Shalat malam adalah shalat sunnah yang sangat besar pahalanya baik dikerjakan di bulan Ramadhan ataupun di luar bulan Ramadhan. Namun shalat malam di bulan Ramadhan yang kita kenal dengan shalat Tarawih memiliki keutamaan lebih daripada di selain bulan Ramadhan. Maka hendaklah kita berlomba-lomba untuk melakukannya. Suasana Ramadhan dan balasan pahala yang besar memberikan kepada kita semangat yang lebih untuk melaksanakannya. Dan semoga apa yang kita lakukan di bulan Ramadhan menjadi latihan bagi kita untuk membiasakan diri setelah Ramadhan berlalu.
Diantara pahala yang besar dari shalat Tarawih adalah diampuni dosa yang telah lalu, -semoga kita menjadi bagian darinya-, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang shalat malam di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, diampuni dosanya yang telah lalu”. (Muttafaqun ‘alaih)

3. Membaca dan Tadabbur Al Qur’an
Bulan Ramadhan adalah bulan Al Qur’an. Pada bulan Ramadhan, Al Qur’an diturunkan. Allah Ta’ala berfirman, “Bulan Ramadhan, bulan yang diturunkan di dalamnya Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil)” (QS. Al Baqarah : 185)
Pada bulan Ramadhan, Jibril ‘alahis salam menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersama membaca dan mengulangi bacaan Al Qur’an. Di bulan Ramadhan, para Shahabat dan salafus shalih berlomba-lomba mengkhatamkan Al Qur’an, baik dalam bacaan shalat ataupun bacaan di luar shalat.
Al Qur’an adalah kitab petunjuk. Dan agar kita bisa mengambil petunjuk darinya, maka kita harus memahami arti dan maknanya. Membaca Al Qur’an adalah amalan yang luar besar nilainya. Tapi mentaddaburi dan memahami maknanya, kemudian mengambil petunjuk hidup darinya, itulah tujuan Al Qur’an diturunkan. Oleh karena itu, mari kita jadikan bulan Ramadhan bulan membaca dan mentaddaburi Al Qur’an.

4. Sedekah
    Amalan ibadah bulan Ramadhan tidak hanya yang berhubungan langsung dengan Allah Ta’ala, tapi juga terdapat amalan yang memberikan efek kebaikan langsung kepada orang lain, salah satunya adalah sedekah. Memperbanyak sedekah di bulan Ramadhan telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam sebuah hadist yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan. Dan kedermawaan beliau akan bertambah pada bulan Ramadhan ketika bertemu dengan Jibril. Beliau bertemu dengan Jibril setiap malam Ramadhan untuk mempelajari Al-Qur’an, dan  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dermawan dari hembusan angin (yakni sangat mudah mengeluarkan sedekah).” (HR. Bukhari)
Sedekah di bulan Ramadhan bisa kita lakukan dengan mengeluarkan sedekah seperti biasanya, dan kita akan mendapatkan nilai lebih jika sedekah itu dilakukan dengan memberi makanan berbuka, karena kita mendapatkan pahala sedekah dan pahala memberi makan orang berbuka puasa.

4. I’tikaf
    I’tikaf dilakukan dengan menetap di masjid selama waktu i’tikaf, baik itu siang ataupun malam hari, dan tidak keluar dari masjid kecuali untuk memenuhi kebutuhan yang darurat, seperti makan dan buang air.
Seorang yang beri’tikaf menyibukkan dirinya hanya dengan ibadah, berdzikir, membaca Al Qur’an, memperbanyak shalat, dan amalan-amalan ibadah yang lainnya. Ia meninggalkan pekerjaan yang melalaikan dan amalan yang sia-sia sehingga waktu ia beri’tikaf benar-benar menjadi waktu yang ia khususkan untuk mendekat dirinya kepada Allah Ta’ala. I’tikaf merupakan kebiasaan dan keteladan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan, sebagaimana yang di sebutkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf selama sepuluh hari setiap bulan Ramadhan, dan beri’tikaf selama dua puluh hari pada tahun beliau wafat”. (HR. Bukhari)

5. Menghidupkan Malam Lailatul Qadar.
Dengan kasih sayang dan rahmat-Nya, Allah Ta’ala menghadiahkan kita satu malam yang istimewa di bulan Ramadhan, malam yang barangsiapa menghidupkannya, akan di ampuni dosanya yang telah lalu (HR. Bukhari). Bahkan mendapat pahala yang berlipat ganda yang lebih baik dari amalan seribu bulan. Pahala seperti ini hanya ada pada malam itu. Allah Ta’ala berfirman tentangnya (yang artinya), “Malam Lailatul Qadar lebih baik dari seribu bulan” (QS. Al Qadar : 3).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghidupkan malam laitul qadar dan menganjurkan umatnya untuk menghidupkannya. Oleh karena itu, mari kita berlomba-lomba untuk menghidupkan malam laitul qadar dengan memperbanyak amalan-amalan ibadah padanya.
Malam itu adalah salah satu dari malam ganjil di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.
Dan pada malam ke-27, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan isyarat kuat tentangnya, tanpa memastikannya sebagai malam lailatul qadar.

6. Umrah di Bulan Ramadhan
            Setiap hati pasti rindu untuk datang ke Masjidil Haram untuk Thawaf mengelilingi Ka’bah, shalat di hadapannya bersama jutaan kaum muslimin lainnya. Ibadah umrah dapat di lakukan sepanjang tahun. Namun umrah di bulan Ramadhan memiliki nilai pahala yang lebih tinggi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Umrah di bulan Ramadhan (pahalanya) menyerupai haji” (HR. Tirmidzi)
Semoga Allah Ta’ala memudahkan jalan bagi kita untuk melaksanakan umrah di bulan Ramadhan dan memberi Taufik dan Inayah-nya kepada kita agar dapat menghidupkan bulan Ramadhan dengan amal-amal kebaikan. Amiin.
Penulis : Ustadz Sanusin Muhammad, M.A (Alumni S2 Universitas Islam Madinah Jurusan Tarbiyah)
Ziyadah  
Figur Anti Korupsi Dan Anti Kezhaliman, berbicara tentang suap atau korupsi seakan memperdalam luka dan nestapa bagi rakyat indonesia. Korupsi telah menjadi budaya dan tradisi, Suap juga telah menjadi aturan tak tertulis di negeri tercinta ini.

Walau demikian, asa tetap ada dan harapan tetap berkobar bahwa suatu saat nanti negeri kita akan dipimpin oleh orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan meneladani sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seutuhnya tanpa ditambah atau dikurangi. Semoga kisah pendek berikut menjadi inspirasi bagi saudaraku sekalian untuk bisa bersikap adil dan jujur.
Sahabat ‘Abdullah bin Rawahah radhiyallahu ‘anhu yang diutus oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salam, untuk menaksir kewajiban upeti/kharaj yang harus dibayarkan oleh kaum yahudi negeri Khaibar. Setelah menaksir kewajiban upeti yang harus mereka bayarkan, pemuka-pemuka yahudi Khaibar menawarkan uang suap kepadanya agar sedikit mengurangi kewajiban kharaj yang harus mereka tunaikan. Mendapat tawaran ini, bukannya beliau senang, namun sebaliknya beliau marah besar dan berkata, “Wahai musuh-musuh Allah! Apakah kalian akan memberiku harta haram?
Sungguh aku adalah utusan orang yang paling aku cintai. Sedangkan kalian adalah orang yang paling aku benci, lebih aku benci dibanding perkumpulan kera dan babi sebanyak kalian.
Walau demikian, kebencianku kepada kalian dan cintaku kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjadikan aku berbuat curang kepada kalian!” Mendengar jawaban ini, kaum yahudi berkata, “Dengan sikap seperti inilah langit dan bumi dapat tegak” ( Riwayat Imam Malik, Ahmad, Ibnu Hibban dan lainnya) Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri (Alumni S3 Universitas Islam Madinah jurusan fiqih, staf pengajar Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyyah (STDI) Jember, dan
kontributor www.PengusahaMuslim.com) Di kutip dari status facebook beliau (http://www.facebook.com/muhammadarifin.badri)

MALAM LAILATUL QA'DAR

Malam lailatul qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan. Karunia dari Rabbul ‘alamin kepada para hamba-Nya yang mencintai ketaatan kepada-Nya. Keutamaan dan keistimewaannya masyhur di tengah kita semua. Lalu, bagaimana memburunya?

Tips Dalam Berburu Lailatul Qadar
Komisi Tetap Penelitian dan Fatwa Saudi Arabia yang diketuai oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz memberikan beberapa tips untuk berburu lailatul qadar :
Pertama : Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersungguh-sungguh pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dengan kesungguhnya yang lebih dari pada malam-malam sebelumnya dalam mengerjakan shalat, membaca Al Qur’an, dan berdo’a. Sebagaimana hadits diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari dari ‘Aisyah radhiyallahu ’anha, bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam jika memasuki sepuluh malam akhir bulan Ramadhan, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam menghidupkan malam dan membangunkan keluarganya dan mengencangkan kain sarungnya.
Juga dalam Shahih Muslim dan Musnad Ahmad, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersungguh-sungguh pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dengan kesungguhan yang berbeda dari pada malam-malam sebelumnya.

Kedua : Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menghasung umatnya untuk mengerjakan shalat malam dengan dasar keimanan yang mengharapkan pahala yang besar. Sebagaimana hadits Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa mengerjakan shalat malam pada malam lailatul qadar karena iman dan mengarapkan pahala, dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni” (HR. Al Jama’ah kecuali Ibnu Majah)

Hadits ini merupakan dalil disyariatkannya menghidupkan malam di sepuluh malam terakhir Ramadhan dengan shalat malam.

Ketiga : Do’a yang paling afdhal untuk diperbanyak dibaca ketika malam lailatul qadar adalah do’a yang diajarkan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah radhiyallahu ’anha. Sebagaimana diriwayatkan dalam Sunan At Tirmidzi yang juga beliau nilai shahih, dari ‘Aisyah radhiyallahu ’anha ia berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika seandainya saya mengetahui bahwa suatu malam adalah malam lailatul qadar. Apa yang saya baca ketika itu?” Rasulullah bersabda, “Bacalah : ‘Allāhumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni’ (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi Maaf, dan Engkau menyukai permintaan maaf, maka ampunilah aku)’

Keempat : Mengkhususkan suatu malam dari malam-malam Ramadhan bahwa malam tersebut adalah lailatul qadar itu membutuhkan dalil yang jelas. Namun secara umum, malam-malam ganjil terutama malam ke dua puluh tujuh lebih besar kemungkinannya sebagai malam lailatul qadar dibanding malam-malam yang lain. Karena terdapat hadits-hadits shahih yang menyatakan hal tersebut.

Kelima: Adapun perbuatan bid’ah, tidak diperbolehkan di bulan Ramadhan maupun di waktu lain. Karena terdapat hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Barangsiapa mengada-ada suatu perkara dalam urusan kami ini (urusan agama), yang tidak ada asalnya dari agama, maka itu tertolak

Hal ini terkait yang diadakan sebagian orang di bulan Ramadhan berupa perayaan-perayaan yang tidak kita ketahui tuntunannya (Fatawa Ramadhan, 10/414-415)

Apakah Perlu Bersungguh-Sungguh Di Siang Hari Juga?
Sebagaimana telah disebutkan dalam hadits riwayat Muslim, “beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersungguh-sungguh pada al ‘asyrul al awakhir (sepuluh hari terakhir) bulan Ramadhan dengan kesungguhan yang berbeda dari pada malam-malam sebelumnya”.
Dalam hadits ini digunakan lafadz al ‘asyrul al awakhir yang artinya ‘sepuluh terakhir’. Ini menunjukkan kesungguhkan beliau tidak hanya pada malam hari saja, namun sehari-semalam beliau bersungguh-sungguh.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Disunnahkan mengerjakan shalat malam terutama pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Dan malam-malam yang ganjil lebih ditekankan lagi, dan yang paling kuat kemungkinannya pada malam ke dua puluh tujuh. Dan disyariatkan untuk bersungguh-sungguh melakukan ketaatan kepada Allah pada siang dan malam hari di sepuluh hari terakhir Ramadhan” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 15/432).

Apakah Perlu Berburu Lailatul Qadar Di Malam-Malam Genap?
Imam Ibnu Hazm Al Andalusi memiliki pandangan yang memberikan kita alasan untuk berburu malam lailatul qadar di malam genap juga. Dalam kitab Al Muhalla beliau berkata, “Lailatul Qadar itu ada hanya sekali dalam setahun, dan hanya khusus terdapat di bulan Ramadhan-nya serta hanya ada di sepuluh malam terakhirnya, tepatnya hanya satu hari saja dan tidak akan pernah berpindah harinya. Namun, tidak ada satu orang manusia pun lailatul qadar jatuh di malam yang mana dari sepuluh malam tersebut. Yang diketahui hanyalah bahwa ia jatuh di malam ganjil.

Andaikata Ramadhan itu 29 hari, maka dapat dipastikan bahwa awal dari sepuluh malam terakhir adalah malam ke-20. Sehingga, lailatul qadar dimungkinkan jatuh pada malam ke-20, atau ke-22, atau ke-24, atau ke-26, atau ke-28. Karena inilah malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir.

Andaikata Ramadhan itu 30 hari, maka dapat dipastikan bahwa awal dari sepuluh malam terakhir adalah malam ke-21. Sehingga, lailatul qadar dimungkinkan jatuh pada malam ke-21, atau ke-23, atau ke-25, atau ke-27, atau ke-29. Karena inilah malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir” (Al Muhalla, 4/457)

Amalan Untuk Meraih Lailatul Qadar
  1. Shalat Malam
Sebagaimana hadits yang telah lewat, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mengerjakan shalat malam pada malam lailatul qadar karena iman dan mengarapkan pahala, dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni

  1. Berdo’a
Sebagaimana hadits ‘Aisyah radhiyallahu ’anha yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam meminta diajari amalan yang dilakukan ketika lailatul qadar, ternyata Rasulullah mengajarkan ‘Aisyah untuk berdo’a. Dari sini para ulama mengatakan bahwa malam lailatul qadar adalah malam yang dianjurkan untuk memperbanyak do’a. Dan do’a yang paling afdhal adalah do’a yang Nabi ajarkan, sebagaimana telah disebutkan.

  1. Membaca Al Qur’an
Ramadhan adalah bulan Al Qur’an. Dan setiap malam malaikat Jibril datang kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam untuk mengajarkan dan mendengarkan hafalan Al Qur’an Nabi. Hal ini diceritakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ’anhuma,Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan. Dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan saat beliau bertemu Jibril. Jibril menemuinya setiap malam untuk mengajarkan Al Qur’an. Dan kedermawanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi angin yang berhembus” (HR. Bukhari)
Maka pada malam hari bulan Ramadhan terutama sepuluh hari terakhir dianjurkan untuk memperbanyak bacaan Al Qur’an.

  1. Istighfar
Hendaknya memperbanyak istighfar di sepuluh malam terakhir Ramadhan. Sebagaimana hadits ‘Aisyah radhiyallahu ’anha yang diajari Rasulullah sebuah do’a untuk diamalkan ketika malam lailatul qadar yang isinya adalah permohonan ampun kepada Allah. Waktu malam secara umum adalah waktu yang afdhal untuk beristighfar, Allah Ta’ala berfirman tentang ciri-ciri orang yang bertaqwa, salah satunya: “Ketika waktu sahur (akhir-akhir malam), mereka berdo’a memohon ampunan” (QS. Adz Dzariyat: 18)

  1. I’tikaf
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan untuk meraih lailatul qadar. Sebagaimana hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Aku dahulu beri’tikaf pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan untuk mencari lailatul qadar , lalu aku beri’tikaf pada sepuluh hari. Kemudian diwahyukan kepadaku bahwa lailatul qadar ada di sepuluh hari terakhir. Maka barangsiapa yang mau beri’tikaf hendaknya ia beri’tikaf”. Maka para sahabat pun beri’tikaf bersama beliau

Inilah beberapa amalan utama untuk meraih lailatul qadar. Namun selain amalan-amalan ini, hendaknya juga melakukan amalan-amalan ketaatan lain yang termasuk dalam kategori ‘menghidupkan malam’, seperti memperbanyak dzikir dan bershalawat.

Apakah Orang Yang Tidak Bisa I’tikaf Berkesempatan Meraih Lailatul Qadar?
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam telah memberi teladan kepada kita bahwa cara untuk mendapatkan lailatul qadar adalah dengan i’tikaf. Ini menunjukkan bahwa orang yang beri’tikaf berkesempatan lebih besar untuk meraih lailatul qadar. Namun bagi orang yang berhalangan untuk beri’tikaf semisal wanita haid, orang yang sakit, musafir, semisalnya tetap berkesempatan untuk meraih lailatul qadar. Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Dalam Musnad Ahmad dan Sunan An Nasa-i terdapat hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda tentang bulan Ramadhan, “Di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa terhalang dari berbuat kebaikan di malam itu maka terhalang baginya kebaikan seribu bulan”.

Juwaibir pernah bertanya kepada Adh Dhahhak, “Bagaimana pandanganmu tentang wanita-wanita yang sedang nifas, haid, dan juga musafir serta orang yang tidur di malam lailatul qadar? Apakah mereka mendapat bagian dari lailatul qadar?’. Adh Dhahhak berkata, “Ya, setiap orang yang diterima amalannya pada malam itu mendapat bagiannya dari lailatul qadar’’ (Lathaa-if Al Ma’arif, 192).

Semoga yang sedikit ini bermanfaat. Semoga kita termasuk hamba Allah yang sukses meraih lailatul qadar. Wabillahi at taufiq.

Penulis : Ustadz Yulian Purnama, S.Kom (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)

Article printed from Buletin At-Tauhid: http://buletin.muslim.or.id
URL to article: http://buletin.muslim.or.id/ibadah-2/berburu-lailatul-qadar

JALAN MENUJU SURGA

Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata, “Perumpamaan para ulama di tengah-tengah umat manusia bagaikan bintang-bintang di langit yang menjadi penunjuk arah bagi manusia.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 29)
Dari Abud Darda’ radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu (agama, ed) maka Allah akan membimbingnya ke dalam salah satu jalan menuju surga. Sesungguhnya para malaikat akan meletakkan sayap-sayapnya karena ridha kepada penuntut ilmu. Sesungguhnya seorang ahli ilmu akan dimintakan ampunan oleh segala yang di langit dan segala yang di bumi, bahkan ikan yang berada di lautan sekalipun. Keutamaan seorang ahli ilmu di atas ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan di malam purnama di atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidaklah mewariskan uang dinar ataupun dirham. Akan tetapi yang mereka wariskan adalah ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya sesungguhnya dia telah mendapatkan jatah [warisan] yang sangat banyak.” (HR. Abu Dawud dalam Kitab al-’Ilmi [3641])
Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat
Ilmu merupakan pondasi tegaknya amalan dan ibadah. Sebagian ulama salaf (terdahulu) berkata, “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu maka dia akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki.” (lihat al-’Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 93)
Imam Bukhari rahimahullah membuat bab dalam Shahihnya di dalam Kitab al-’Ilmu sebuah bab dengan judul ‘Ilmu sebelum berkata dan beramal, berdasarkan firman Allah ta’ala (yang artinya), “Maka ketahuilah, bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Allah.” (QS. Muhammad: 19).’ Beliau berkata, “Allah memulai dengan ilmu.” (lihat Fath al-Bari [1/194])
Ibnul Munayyir rahimahullah berkata, “Beliau -Imam Bukhari- bermaksud untuk menjelaskan bahwa ilmu merupakan syarat benarnya ucapan dan amalan. Sehingga keduanya -ucapan dan amalan- tidak dianggap -benar- tanpanya. Maka ilmu lebih didahulukan daripada keduanya, sebab ilmu menjadi faktor yang meluruskan niat, sedangkan lurusnya niat itulah yang menjadi pelurus amalan…” (lihat Fath al-Bari [1/195])
Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amalan jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Demikian pula apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah, sedangkan benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19 cet. Dar al-Hadits).
Hakikat Ilmu dan Ulama
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata kepada para sahabatnya, “Sesungguhnya kalian sekarang ini berada di masa para ulamanya masih banyak dan tukang ceramahnya sedikit. Dan akan datang suatu masa setelah kalian dimana tukang ceramahnya banyak namun ulamanya amat sedikit.” (lihat Qowa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 40)
Ilmu tidak diukur semata-mata dengan banyaknya riwayat atau banyaknya pembicaraan. Akan tetapi ia adalah cahaya yang ditanamkan ke dalam hati. Dengan ilmu itulah seorang hamba bisa memahami kebenaran. Dengannya pula seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dengan kebatilan (lihat Qowa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 39)
Imam Ibnul A’rabi rahimahullah berkata, “Seorang yang berilmu tidak dikatakan sebagai alim robbani sampai dia menjadi orang yang -benar-benar- berilmu, mengajarkan ilmunya, dan juga mengamalkannya.” (lihat Fath al-Bari [1/197])
Lebih daripada itu, ahli ilmu yang sejati adalah yang senantiasa takut kepada Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang benar-benar merasa takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Fathir: 28). Karena ilmu dan rasa takutnya kepada Allah, para ulama menjadi orang yang paling jauh dari hawa nafsu dan paling mendekati kebenaran sehingga pendapat mereka pun diperhitungkan dalam syari’at Islam (lihat Qowa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 52).
Masruq berkata, “Sekadar dengan kualitas ilmu yang dimiliki seseorang maka sekadar itulah rasa takutnya kepada Allah. Dan sekadar dengan tingkat kebodohannya maka sekadar itulah hilang rasa takutnya kepada Allah.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)
Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Sesungguhnya rasa takut yang sejati adalah tatkala kamu takut kepada Allah dan rasa takut itu menghalangimu dari perbuatan maksiat. Itulah rasa takut yang sebenarnya. Hakikat dzikir adalah kepatuhan kepada Allah. Siapa pun yang patuh kepada Allah maka dia telah berdzikir kepada-Nya. Barangsiapa yang tidak patuh kepada-Nya maka dia bukanlah orang yang berdzikir kepada-Nya, meskipun dia banyak membaca tasbih dan tilawah al-Qur’an.” (lihat Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 31)
Sa’ad bin Ibrahim rahimahullah pernah ditanya; Siapakah ulama yang paling fakih (paham agama, ed) di antara penduduk Madinah? Maka beliau menjawab, “Yaitu orang yang paling bertakwa di antara mereka.” (lihat Ta’liqat Risalah Lathifah, hal. 44).
Nasehat Bagi Para Da’i dan Penimba Ilmu
Sufyan rahimahullah pernah ditanya, “Menuntut ilmu yang lebih kau sukai ataukah beramal?”. Beliau menjawab, “Sesungguhnya ilmu itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan tinggalkan menuntut ilmu dengan dalih untuk fokus beramal, dan jangan tinggalkan amal dengan dalih untuk fokus menuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 44-45)
Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata: Aku tidak takut apabila kelak ditanyakan kepadaku, Hai Uwaimir, apa yang sudah kamu ilmui?”. Namun, aku khawatir jika ditanyakan kepadaku, “Apa yang sudah kamu amalkan dari ilmu yang sudah kamu ketahui?” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)
Ibnu Baththal berkata, “Barangsiapa yang mempelajari hadits demi memalingkan wajah-wajah manusia kepada dirinya (baca: riya’) maka kelak di akherat Allah akan memalingkan wajahnya menuju neraka.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang rusak di antara ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Barangsiapa yang rusak di antara ahli ilmu kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi.” Ibnul Qoyyim mengatakan, “Hal itu dikarenakan orang Nasrani beribadah tanpa ilmu sedangkan orang Yahudi mengetahui kebenaran akan tetapi mereka justru berpaling darinya.” (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 36)
Imam Ibnul Qoyyim rahimahulllah berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (lihat al-Fawa’id, hal. 34)

Ibnus Samak rahimahullah berkata, “Wahai saudaraku. Betapa banyak orang yang menyuruh orang lain untuk ingat kepada Allah sementara dia sendiri melupakan Allah. Betapa banyak orang yang menyuruh orang lain takut kepada Allah akan tetapi dia sendiri lancang kepada Allah. Betapa banyak orang yang mengajak ke jalan Allah sementara dia sendiri justru meninggalkan Allah. Dan betapa banyak orang yang membaca Kitab Allah sementara dirinya tidak terikat sama sekali dengan ayat-ayat Allah. Wassalam.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 570)
Wallahu a’lam bish showaab.
[redaksi]

Article printed from Buletin At-Tauhid: http://buletin.muslim.or.id
URL to article: http://buletin.muslim.or.id/nasehat/ilmu-jalan-menuju-surga

Follow Us